Menulis Perjalanan
Jalan lebar, jalan sempit, jalan lurus, jalan menikung, jalan mulus, jalan berbatu-berkerikil-berduri sudah kita lewati bersama. Danau indah yang disebut surga itu belum terlihat. Danau itu tepat berada di belakang gunung batu nan tinggi yang sedang kita tatap saat ini. Kakiku dan kakimu bergetar. Rasa bimbang dan ragu mulai membayangi. Tak satu pun di antara kita yang paham, ada apa di gunung itu. Konon katanya, jalannya terjal, penuh rintangan dan sangat jauh. Apakah kita lanjut untuk mendakinya bersama, tetap berpegangan tangan?.
Ternyata jawaban kita berbeda. Kau pilih untuk rehat dulu dan aku pilih untuk tetap jalan. Pertanyaan selanjutnya, mau sampai kapankah kau merehat? dan bersama siapakah aku melanjutkan perjalanan? Ntahlah, aku sendiri belum tahu, yang jelas aku harus tetap lanjut.
Benar, tujuan kita adalah sama, menuju danau itu. Namun waktu dan cara kita berbeda.
Berpisah...
Berjalan bersama hampir 3 tahun, berpisah menjadi langkah selanjutnya. Lantunan lagu MiKi menjadi pengiringnya: "Berpisah itu mudah namun menghapuskan semua kenangan tentangmu adalah hal yang paling menyulitkan untukku".
Sebagaimana kita sudah memulai perjalanan ini dengan baik, kita tutup juga perpisahan ini dengan baik. Dengan senyum, dengan bahagia walau harus bercucur air mata.
"Sayang, hati-hati yah. Abang lanjut jalan dulu. Love you". #nangis
Baru berjalan 10 meter, tanpa kuduga kau berteriak memanggilku. "Bang, ikut....!"
Dalam hati aku berkata, "Puji Tuhan!! Akhirnya dia bersedia untuk ikut..."
Balik kanan..
Aku menghampirinya. "Jalan kita masih jauh sayang, yuk kita siapin dulu peralatan kita"
"Oke cayang atu, I love you", begitu kata dia.
To be continued...
Comments